TNews, JEPARA – Hati Nurani yang Mati di Depan Pabrik Sendiri
Aksi unjuk rasa puluhan warga Desa Banyuputih dan Gemulung di depan gerbang PT Hwaseung Indonesia (PT HWI) pada Senin pagi, 26 Mei 2025, menjadi cermin dari kegagalan komunikasi sosial antara industri dan masyarakat lokal. Lagu kebangsaan yang dinyanyikan dengan penuh harap, tabur bunga yang sarat makna, hingga simbol keranda yang dibawa massa, menunjukkan betapa dalam luka sosial yang dirasakan masyarakat akibat sulitnya akses kerja di tanah mereka sendiri.
Secara sosial, pabrik yang berdiri di tengah kampung seharusnya menjadi oase bagi warga sekitar. Harapan untuk mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan keluarga, hingga membangun masa depan anak-anak di sekitar kawasan industri, menjadi mimpi yang wajar. Namun mimpi itu justru terasa dihianati ketika warga sekitar hanya menjadi penonton, sementara peluang kerja justru diraih oleh orang-orang dari luar daerah.
Secara regulasi, memang tidak ada pasal hukum yang secara eksplisit mewajibkan perusahaan merekrut warga lokal. Namun dalam banyak kesepakatan sosial yang difasilitasi pemerintah, seperti dalam dokumen AMDAL atau audiensi resmi, komitmen pemberdayaan lokal dan pembangunan infrastruktur biasanya menjadi bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Bila komitmen itu dilanggar, maka yang mati bukan hanya harapan, tapi juga etika dan kepercayaan publik.
Dampak dari unjuk rasa ini bukan hanya soal reputasi PT HWI, tapi juga menyentuh kondusifitas iklim investasi Jepara secara luas. Ketika industri tidak mampu merangkul masyarakat sekitarnya, maka muncul ruang konflik yang sewaktu-waktu bisa meledak. Pemerintah daerah pun tak boleh hanya menjadi penonton pasif. Perlu ada ketegasan untuk memastikan bahwa keberadaan industri sejalan dengan misi pengentasan pengangguran dan pembangunan sosial di tingkat desa.
Unjuk rasa ini seharusnya menjadi panggilan untuk instrospeksi—bagi manajemen PT HWI, bagi Pemkab Jepara, dan bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor ketenagakerjaan. Sudah saatnya kebijakan rekrutmen diarahkan untuk menjawab masalah lokal, bukan sekadar mengisi kebutuhan produksi global. Karena jika industri tak lagi berpihak pada masyarakatnya sendiri, maka yang tumbuh bukan hanya pabrik, tapi juga ketimpangan dan ketidakadilan.*
Peliput: Petrus