Data BPS Dipertanyakan: Ekonom Ragu Angka Pertumbuhan dan Kemiskinan

Gambar: Data BPS Dipertanyakan: Ekonom Ragu Angka Pertumbuhan dan Kemiskinan, (5/8/2025).

TNews, JAKARTA – Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2025 mencapai 5,12% dan penurunan angka kemiskinan memicu gelombang keraguan dari kalangan ekonom, akademisi, dan anggota parlemen. Kritik tajam muncul karena data yang disampaikan BPS dinilai tidak selaras dengan kondisi riil di lapangan maupun proyeksi lembaga riset lainnya.

BPS mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II-2025 mencapai Rp 5.947 triliun, dengan pertumbuhan tahunan (yoy) 5,12%, naik dari 4,87% di kuartal I-2025. Namun, angka ini membuat sejumlah ekonom terkejut dan mempertanyakan metodologi serta asumsi yang digunakan.

Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, mengaku kaget dengan data tersebut.

> “Agak kaget. Di luar perkiraan banyak orang, termasuk saya, yang memperkirakan di bawah 5 persen. Bahkan jauh, sekitar 4,8–4,9 persen,” ujarnya, Selasa (5/8/2025).

 

Senada, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai pertumbuhan ekonomi seharusnya hanya di kisaran 4,5–4,7%, mengingat lesunya daya beli pasca-Lebaran dan tidak adanya faktor pendorong musiman yang signifikan.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, juga memprediksi pertumbuhan di bawah 5%, tepatnya di kisaran 4,7–4,8%. Menurutnya, stimulus pemerintah tidak cukup kuat, net ekspor melemah, dan belanja pemerintah justru minus sekitar 1% di kuartal II-2025.

 

Kontroversi Data Kemiskinan

Keraguan juga mengemuka pada data kemiskinan. Perbedaan metode antara BPS dan Bank Dunia memicu kebingungan publik.

BPS menggunakan garis kemiskinan nasional sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan (Rp 20.305 per hari) berbasis konsumsi minimum.

Bank Dunia menggunakan standar kemiskinan global berbasis Purchasing Power Parities (PPP) 2021, yang mengkalkulasi kemiskinan ekstrem di Indonesia mencapai 194,6 juta jiwa — jauh di atas data BPS yang menunjukkan 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa per September 2024.

BPS menegaskan bahwa perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan tujuan dan metode: data BPS digunakan untuk kebijakan nasional, sementara data Bank Dunia dipakai untuk perbandingan global.

 

Penundaan Rilis Data Picu Spekulasi

BPS juga pernah menunda rilis data kemiskinan dan rasio Gini dengan alasan peningkatan kualitas data. Meski BPS mengklaim penundaan ini demi akurasi, langkah tersebut justru memicu spekulasi publik soal transparansi dan independensi lembaga statistik negara ini.

 

Peringatan Bank Dunia

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Carolyn Turk, menilai perekonomian Indonesia berisiko melambat akibat gejolak geopolitik global, penurunan kinerja perdagangan, dan lemahnya arus modal asing. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,7% di 2025 dan 4,8% di 2026, lebih rendah dari klaim BPS.

> “Dalam situasi yang sangat rentan ini, ekonomi Indonesia memang menunjukkan ketahanan. Tapi kami melihat pertumbuhan PDB yang lebih rendah dari 5 persen,” ujar Carolyn.

 

Perdebatan ini menegaskan pentingnya transparansi metodologi, konsistensi data, dan komunikasi publik yang jelas dari BPS. Sebagai lembaga statistik negara, BPS memegang peran vital dalam menyediakan informasi yang menjadi fondasi perencanaan kebijakan nasional. Tanpa kepercayaan publik, angka statistik berisiko hanya menjadi deretan persentase yang kehilangan makna.*

Peliput: Petrus

Tinggalkan Balasan