TNews, JEPARA – Aktivitas reklamasi dan pembangunan bangunan permanen seperti hotel, restoran, dan kafe yang menjorok ke laut di kawasan pesisir Jepara menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Kegiatan ini mencakup wilayah pesisir Telukawur, Tegalsambi, Sekembu, Mulyoharjo, hingga Bandengan. Meski telah terdaftar dalam sistem perizinan elektronik Online Single Submission (OSS), langkah tersebut diduga belum melalui kajian lingkungan yang memadai.
Pengamat lingkungan dan organisasi masyarakat sipil, seperti Lembaga Jepara Membangun (LJM) dan aktivis Joko TP, mengungkapkan keprihatinan atas dampak lingkungan yang ditimbulkan. Mereka menilai aktivitas ini berpotensi melanggar Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dampak Lingkungan dan Sosial
Aktivitas reklamasi tersebut dikhawatirkan mengancam ekosistem pesisir dan menimbulkan konflik sosial, terutama di kalangan nelayan lokal. Salah satu nelayan setempat menyatakan, “Kami mendukung investasi, tapi jangan sampai merusak pantai yang menjadi sumber kehidupan kami.”
Joko TP mendesak pemerintah daerah untuk menegakkan hukum, mengevaluasi sistem OSS, dan memulihkan ekosistem yang telah rusak. Ia menegaskan bahwa kawasan sempadan pantai harus dilindungi untuk menjamin keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Langkah yang Diperlukan
Beberapa langkah konkret yang direkomendasikan oleh LSM dan aktivis lingkungan mencakup:
1. Penegakan Hukum: Menyelidiki pelanggaran izin dan menghentikan aktivitas ilegal.
2. Evaluasi Sistem OSS: Memastikan setiap proses perizinan mencakup kajian lingkungan yang ketat.
3. Restorasi Ekosistem: Melakukan upaya pemulihan terhadap kawasan yang telah terdampak.
Ketua LJM, Yuli Suharyono, menyatakan bahwa pihaknya akan membawa kasus ini ke kementerian terkait untuk memastikan penanganannya tidak berhenti di tingkat daerah. “Pembangunan ekonomi penting, tetapi tidak boleh mengorbankan lingkungan yang menjadi warisan bagi generasi mendatang,” tegasnya.
Tanggapan Pemerintah Daerah yang disampaikan oleh Kepala DPMPTSP Kabupaten Jepara, Eriza Rudi Yulianto, S.Sos., menjelaskan bahwa sebagian besar proses perizinan melalui sistem OSS yang sudah terintegrasi dengan aplikasi AmdalNet, terkendala di Kementerian Lingkungan Hidup. Ia menegaskan bahwa setiap usaha harus memenuhi persyaratan dasar seperti Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), UKL-UPL, atau SPPL sesuai tingkat risikonya.
Selain itu, untuk usaha di wilayah laut, persetujuan harus berdasarkan KKPRL (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut) sesuai PP 21/2021 dan regulasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sementara untuk darat, pemerintah daerah mengacu pada Perda Jepara No. 4 Tahun 2023 dan Perbup No. 55 Tahun 2021 yang telah terintegrasi dengan sistem OSS.
“Semua izin yang diajukan harus memenuhi kajian lingkungan yang matang. Ini tanggung jawab kami untuk melindungi kawasan pesisir,” tutup Eriza.
Sementara itu Kepala Bidang ITR PUPR Jepara, Widodo, melalui pesan WhatsApp, menyampaikan bahwa kasus ini menjadi pengingat penting akan perlunya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan investor dalam memastikan pembangunan yang berkelanjutan. “Pembangunan tidak boleh mengorbankan lingkungan,” katanya.
Sorotan terhadap reklamasi dan pembangunan di pesisir Jepara ini menjadi pengingat akan pentingnya prinsip pembangunan berkelanjutan. Penegakan hukum, evaluasi sistem OSS, dan komitmen untuk melindungi lingkungan menjadi langkah mendesak yang harus diambil demi masa depan ekosistem dan masyarakat pesisir.*
Peliput: Petrus