TNews, JEPARA – Dugaan pelanggaran etik dan kelalaian medis menyeruak ke permukaan setelah FMM (54), warga Perumahan Mutiara Hati 2, Ngabul, Kecamatan Tahunan, Jepara, terbaring lemah dan harus dirawat intensif di RSUD Kartini Jepara pasca operasi ginjal di RS Graha Husada Jepara. Operasi yang dilakukan pada 13 Mei 2025 malam itu ternyata membawa malapetaka baru bagi pasien dan keluarganya.
Menurut penuturan FA (31), anak kandung FMM, kepada Totabuan.News, kondisi ibunya memburuk hanya beberapa jam setelah dipulangkan dari RS Graha Husada. “Ibu demam tinggi, muntah hebat, pusing, dan tidak bisa makan. Kami panik dan membawanya kembali ke rumah sakit tempat operasi dilakukan,” ujar FA.
Namun yang terjadi sungguh mengejutkan dan memilukan. Setibanya di RS Graha Husada, pihak rumah sakit menolak menangani pasien dengan alasan “jadwal kontrol BPJS belum waktunya.” Tidak ada tindakan medis lanjutan. Bahkan, tidak ada dokter yang menangani, dan perawat hanya memberikan obat mual serta anti nyeri sambil menyarankan pasien dibawa saja ke RSUD Kartini.
Yang lebih miris, rujukan atau surat pengantar pun tidak diberikan. Pasien dalam kondisi kritis hanya “dilempar” ke rumah sakit lain tanpa prosedur formal. Ini bukan hanya tidak profesional, tetapi juga berpotensi melanggar hukum dan etika kedokteran.
RSUD Kartini akhirnya menerima pasien pada 4 Mei dan langsung melakukan rawat inap. Dari pemeriksaan awal, pasien mengalami demam tinggi, dehidrasi, dan gangguan pencernaan. Namun karena keterbatasan fasilitas neurologi, pada 13 Mei sore, keluarga memutuskan memindahkan pasien ke RS Mardi Rahayu Kudus dengan biaya ambulans mandiri.
Ironisnya, saat wartawan Totabuan.News mencoba meminta klarifikasi ke pihak RS Graha Husada, tidak satu pun pihak manajemen bersedia menemui. Humas rumah sakit bahkan enggan dijumpai dan tak memberikan kepastian waktu klarifikasi. Apakah ini bentuk ketakutan atau sikap tidak bertanggung jawab?
Poin-Poin Serius Dugaan Malpraktik;
1. Pasien dipulangkan terlalu dini dalam kondisi belum stabil.
2. Penolakan penanganan darurat pasca operasi.
3. Tidak adanya surat rujukan saat pasien dialihkan ke RS lain.
4. Tidak ada tindakan medis darurat saat pasien datang dalam kondisi memburuk.
Payung Hukum yang Relevan
Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009
“Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit.”
Pasal 190 UU No. 36 Tahun 2009
“Setiap tenaga kesehatan wajib mengutamakan keselamatan pasien dan dilarang menolak memberikan pelayanan medis dalam keadaan darurat.”
Pertanyaan Kritis yang Perlu Dijawab Pihak RS Graha Husada:
Apa protokol internal rumah sakit terhadap pasien pasca operasi dengan kondisi darurat?
Apakah penolakan layanan atas dasar “belum waktunya kontrol BPJS” dibenarkan secara medis dan hukum?
Apakah tidak adanya tindakan medis dan rujukan tertulis merupakan bentuk kelalaian berat yang melanggar etik dan hukum?
Kasus ini bukan hanya soal pelayanan buruk, tapi sudah masuk ranah dugaan malpraktik dan pelanggaran hukum. Rumah sakit bukan hanya tempat bisnis medis, tetapi institusi yang harus menjamin keselamatan nyawa manusia. Jika tidak mampu memberi pelayanan penuh tanggung jawab, maka masyarakat berhak menuntut pertanggungjawaban.
Waspadalah RS Graha Husada – Jangan biarkan uang dan jadwal menggantikan nurani dan tanggung jawab!*
Peliput : Petrus